Simon Onggo: Ria Pasola di Nusa Cendana
Tradisi mempersembahkan darah kepada leluhur masih berlangsung sampai saat ini di Pulau Sumba. Sebagian besar masyarakatnya masih menganut kepercayaan Marapu yang menganggap roh leluhur sebagai perantara dengan Sang Ilahi. Doa dan harapan disampaikan pada arwah leluhur melalui persembahan dengan cara menyembelih hewan seperti babi, kerbau, kuda, ayam, atau anjing.
Namun dalam sebuah ritual pertanian, darah manusialah yang dinanti. Bersenjatakan lembing, para penunggang kuda di Nusa Cendana dari dua kubu ini berlaga di arena pasola. Darah yang tercurah ataupun kematian di gelanggang pertempuran dirayakan sebagai persembahan untuk mendapatkan hasil bumi yang melimpah.
Ritual dari nenek moyang ini terus dijaga hingga sekarang meskipun sebagian masyarakat Sumba sudah beragama Kristen. Pertemuan dua sistem kepercayaan ini mencapai negosiasi yang melanggengkan pasola sebagai sebuah budaya.
Pasola digelar rutin setiap tahun pada bulan Februari dan Maret di wilayah Wanokaka dan Lamboya di Sumba Barat dan Kodi di Sumba Barat Daya. Di kampung Ubu Ewi di Wanukaka, Sumba Barat, para rato atau imam Marapu berkumpul sejak tengah malam. Perkampungan yang berada di atas bukit ini menjadi tempat berdoa bagi para rato yang akan memimpin jalannya prosesi pasola. Selesai berdoa, rato Ubu Ewi akan berteriak memanggil para warga agar menuju pantai untuk menyaksikan dan mengambil nyale dalam suasana temaram.
Nyale merupakan sebutan untuk cacing laut yang berwarna merah atau hijau. Prosesi nyale dibuka oleh seorang rato yang menyelidiki kehadiran nyale. Jika sang rato sudah mengambil nyale, seluruh pengunjung akan dipersilahkan mencari. Jika nyale berlimpah dan kondisinya utuh maka panen dipercayai akan berhasil. Begitu prosesi nyale selesai, para pemuda Sumba yang gagah berani bersiap dengan memakai kain tenun yang dibelitkan pada perut. Ikat kepala juga dipakai sebagai ciri khas pakaian adat Sumba. Kuda-kuda diberi hiasan di kepala dan dikalungi lonceng-lonceng kecil. Begitu kuda nyale berlari mengitari lapangan, maka pasola resmi dibuka.
Pasola dirayakan sebagai pesta syukur bagi masyarakat Kodi. Dalam gelaran ini seluruh warga kampung diundang untuk berkumpul bersama. Da humba akau yaka ndaningu paraingmu. Sebuah istilah dalam bahasa Sumba yang berarti jangan mengaku sebagai orang Humba jika tidak punya kampung.
Ungkapan ini perlu direnungkan, karena kampung sebagai pusat kebudayaan harus terus dihidupkan. Pasola menjadi moment yang tepat untuk menjaga semangat persaudaraan dan menguatkan identitas Marapu.
—
Simon Onggo Eko Hastomo tumbuh di desa yang berada di antara lereng Gunung Merapi dan Merbabu. Saat ini bertugas di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti di Pulau Sumba. Simon mengabadikan kekayaan alam, flora dan fauna, budaya, dan kehidupan masyarakat Nusa Cendana. Artikel ini terbit di National Geographic Traveler edisi Mei 2016.
Fotografer: Simon Onggo
Kurator Foto: Yunaidi
Editor Teks: Mahandis Y. Thamrin
Editor Visual: Lambok Hutabarat
Desainer Grafis: Zulfiq Ardi Nugroho