Lensa Fotokita
  • Home
  • Inspirasi
  • Tutorial
  • Gears
  • Photo Story
  • Travel
  • Video
  • Event & Lomba Foto
  • Edisi Cetak

Portofolio: Kehidupan Cadas di Batu Paras

admin/29 Mar, 16/444/0
Portofolio

13_Page_1

Kawasan Gunungkidul di Yogyakarta terkenal akan keindahan panorama pantainya. Ada yang berupa tebing-tebing karang yang curam, ada pula yang cukup landai dan berpasir putih. Pada bagian yang bertebing terjal, suara ombak terdengar makin me­nyeramkan karena langsung membentur karang.

Sebagian pantai itu letaknya tersembunyi dan kurang dikenal, padahal memiliki daya tarik tersendiri. Pantai Timang salah satunya. Dari jalan raya utama, rambu penunjuk arah ke tempat ini cukup sulit dicari. Bentuknya sebuah papan tripleks persegi panjang yang melekat tak sempurna di sebuah batang pohon. Bunyinya: “Pantai Timang 4 KM”.

Untuk menuju ke sana, jalan  kampung berupa cor beton disusul oleh jalan berbatu dan semak-semak setinggi 40 sentimeter. Perjalanan kurang nyaman itu memakan waktu sekitar 45 menit dengan mobil. Tidak ada lahan parkir mobil, apa lagi retribusi masuk kawasan. Hanya ada lahan sempit untuk menepi agar tak mengganggu lalu-lalang penduduk.

Terletak di antara Pantai Siung dan Pantai Indrayanti, terdapat faktor geografis yang menyebabkan Pantai Timang jarang disambangi pejalan. Pasir pantainya hitam, tebingnya curam, dan empasan ombaknya kuat. Namun, bagi para nelayan pencari lobster, alam yang ganas ini menjadi tempat mencari penghidupan.

Pertarungan nelayan dalam mencari lobster terletak pada cara mereka menuju pulau kecil bernama Pulau Panjang dari tebing terjal Pantai Timang. Tali tambang plastik sepanjang kira-kira 200 meter dibentangkan antara Pantai Timang dan Pulau Panjang. Sebuah kursi kayu digantungkan pada tali tersebut sebagai wahana penyeberangan. Pada tali dan kursi itulah mereka berserah diri menyabung nyawa hingga ke seberang pulau.

Dahulu, tidak ada wahana kursi gantung menuju Pulau Panjang, pulau yang lebih mirip bongkahan batu besar itu. Namun, ombak kelewat ganas dan sering membatalkan niat mencari lobster. Akhirnya, para nelayan berinisiatif membuat wahana kereta gantung itu sekitar enam tahun silam.

Warno, nelayan lobster setempat, mengatakan bahwa tambang tersebut kerap mengalami peremajaan. “Dikira-kira saja, Mas. Kalau tambangnya sudah tidak bagus ya kami ganti,” katanya. Terakhir kali tambang diganti setahun yang lalu, sedangkan kursi kayu masih orisinal sejak awal.

Fenomena kursi gantung itu mencuat di media massa beberapa waktu silam, sampai akhirnya menjadi salah satu “wahana” wisata. Untuk merasakan sensasi tergantung terombang-ambing di ketinggian kurang lebih 50 meter plus suara deburan ombak  ganas di bawahnya ini dipatok harga sekitar 100 ribu rupiah perorang. Catat: tanpa asuransi jiwa! —Ricky Martin, dari rubrik Portofolio National Geographic Traveler edisi Juli 2014

13_Page_2

13_Page_3

13_Page_4

Fotografer: Ricky Martin
Editor Foto: Reynold Sumayku
Editor Teks: Firman Firdaus
Desainer Grafis: Zulfiq Ardi Nugroho

Share this:

  • Facebook
  • LinkedIn
  • Twitter

Related

batu parasportofoliotravel photography

Portofolio: Wasiat Wangsa Manchu yang Tertinggal

29 Mar, 16

Woodstock 1999: Kenangan Cinta dan Damai

29 Mar, 16

Related Posts

BeritaGears

EOS R, Kamera Mirrorless Fullframe Pertama yang...

Gears

Perkenalkan! Z7 dan Z6, Kamera Mirrorless Full-Frame...

Gears

Samsung ‘Tantang’ Pengguna Hasilkan Foto...

admin

Leave a Reply Cancel reply

IG Fotokita

VIDEO

Oops, something went wrong.
Lensa Fotokita

Fotokita © 2016.