Waktu, Uang, dan Preferensi Fotografi (03)
Teks dan foto oleh Tantyo Bangun
Sekarang kita memasuki bagian ketiga dari perbincangan soal sumber daya kita dan preferensi fotografi. Masih berkisar soal jebakan dari pemilihan alat foto paling vital yaitu kamera. Di awal-awal fotografi digital, kita sering membaca para penggemar fotografi di Indonesia sering menyinggung-nyinggung masalah “SARA” dalam forum-forum diskusi, berkenaan dengan “agama” alias kefanatikan terhadap mereka kamera tertentu.

Saat itu ada dua agama yang sama-sama berasal dari Jepang. Hal itu kemudian dimanfaatkan oleh para pemasarnya, semata-mata mendongkrak bisnis. Mengapa? Dengan mengangkat masalah SARA fotografi ini, akhirnya dua agama itulah yang “tampaknya” mendominasi jagat—terutama—kamera SLR.
Pangsa pasar SLR mungkin bukan yang terbesar dari jumlah unit yang terjual, tetapi jika dari margin keuntungan jelas paling besar. Pengguna kamera jenis ini akan cenderung mengembangkan dua hal, pertama memperbanyak koleksi lensanya dan kedua melakukan upgrade bodi kameranya. Ujung-ujungnya adalah menggemukkan kocek produsen.
Sebetulnya apa yang membuat timbulnya sebutan “agama” dalam pemilihan alat fotografi? Yang pertama-tama untuk seseorang pemeluk agama tertentu, ia kemungkinan besar selamanya akan memeluk agama tersebut. Akan sulit sekali bagi seseorang untuk pindah “agama”. Kalau memilih sistem kamera SLR tertentu yang membuatnya jadi semacam “agama” adalah koleksi lensanya.
Bagian yang termahal dari sebuah kamera adalah lensanya. Sistem optik ini biasanya berkembang sesuai dengan keahlian si fotografer. Ia akan melakukan investasi yang cukup besar untuk mempunyai jenis lensa yang cukup beragam agar ia bisa melakukan fotografi sesuai keinginannya.
Di sisi lain banyak pemula yang ingin belajar menggunakan kamera SLR kemudian terjebak oleh jargon “agama”. Membeli satu paket kamera dengan lensa kit seolah-olah sudah membuat sang pemula memeluk “agama” tertentu. Ini pemahaman yang kurang tepat.
Di ujung lain, sebetulnya “agama” fotografi di dalam ranah teknologi digital saat ini menjadi nisbi. Seperti disebutkan terdahulu, konvergensi teknologi memungkinkan semuanya itu. Munculnya teknologi baru yang dilakukan oleh para pemain baru dengan terobosan teknologi kini bisa mengambil alih dominasi merek-merek lama.
Di dunia komputer, lima tahun lalu kita tidak membayangkan bahwa Apple akan cukup mendominasi smartphone dengan iPhone. Di dunia kamera sinema, beberapa tahun lalu kita tak mendengar adanya kamera Red yang kini bahkan dipakai oleh sutradara Peter Jackson untuk membuat The Hobbit, prequel dari The Lord of The Rings. Red bahkan didesain oleh pembuat kacamata Oakley, hampir tak ada hubungannya dengan dunia sinematografi bukan?
Di dunia kamera, terobosan-terobosan baru tidak saja dilakukan oleh para pelaku lama. Dulu kita tidak mengenal sistem 4/3 yang kini dipopulerkan oleh Panasonic dan Olympus. Sekarang bahkan berkembang model kamera SLR yang translucent mirror hingga yang mirror-less. Fuji X-100 bahkan mengembangkan hybrid view finder untuk mengisi celah pasar kamera range finder, yang belum diisi oleh Leica yang merajai jenis ini dengan seri M-nya.
Dengan melihat cakrawala perkembangan teknologi, memang “agama” di dalam fotogafi menjadi kurang relevan lagi. Yang membuat orang menjadi tetap memeluk “agama” fotografi adalah seberapa banyak lensa yang dia punya. Jika hanya 1-2 lensa rasanya belum “beragama” 🙂 Jadi, jangan terlalu fanatik dengan “agama”, jadilah humanis dahulu.
Comments
anggara mahendra
kalo dari pengalaman, kebanyakan yg mempertanyakan agama lebih ke pengguna baru yg banyak dengar agama “N” lebih OK dari “C” atau sebaliknya.. hasil akhir dari foto yg bagus juga gak akan ketauan apakah dia memakai merk tertentu dalam memotret.. 🙂
Widodo
Sori mas, jadi intinya apa? – -“
jaka
Jadi, agama apapun bebas memilih merek kamera apapun, tidak ada batasan. Kebebasan memilih merek kamera adalah hak asasi yang harus dijunjung tinggi. gitu ya mas Tanto???
i don’t think so
Prima
Apapun kameranya, yang penting hasilnya… Itu saja prinsip saya… 😀
Arel
Setuja dgn yang ini….!
Dasril
setuju dengan @Prima, terkadang juga meskipun objek yang kita shooting sudah bagus, namun ada beragam tanggapan orang terhadap “bagus”-nya objek tersebut, yang pasti bagus tidaknya suatu photo, mahal tidaknya suatu kamera, hasil yang didapat tetap menceritakan sejuta makna – meski hanya untuk sang pengambil photo!
aliepodja
Jadilah humanis yg beragama. ;D